Featured Post

Sinopsis film dua garis biru

CUAP-CUAP “Dua Garis Biru”

serbaada98.blogspot.com


Aku tidak berada di kubu mereka yang menggemari Angga Yunanda ataupun mereka yang mengidolakan Zara JKT48. Aku menyaksikan “Dua Garis Biru” karena murni aku sadar bahwa film ini mempunyai sangat banyak potensi. Dan Gina S. Noer, yang sekarang ini memulai debut penyutradaraannya setelah sekian lama berkutat sebagai penulis naskah, berhasil mengeksekusi setiap potensi dan menjadikan “Dua Garis Biru” salah satu film drama paling kuat dan baik tahun ini.
Kemistri antara Angga dan Zara — atau dalam film sebagai Bima dan Dara — sungguh tidak terelakkan. Mereka ditakdirkan untuk peran-peran ini. Angga, yang berangkat dari ranah sinetron picisan menuju genre horor layar lebar kian mengukuhkan bahwa ia adalah aktor menjanjikan di masa depan. Dan Zara, yang bulan Januari lalu tampil memikat dalam “Keluarga Cemara” berhasil menempatkan dirinya dalam standar bintang yang tinggi; tidak hanya indah di vokal, Zara adalah calon aktris Indonesia paling menjual.
Perkara ‘cast’ memang tidak bisa dipungkiri adalah elemen paling kuat dalam “Dua Garis Biru”. Terlebih mengingat film ini dipentoli pemeran-pemeran muda dalam membawakan cerita yang sangat dewasa. Menakjubkan melihat bagaimana Angga dan Zara yang masih sebelia itu dapat membawa diri dalam narasi yang sarat dan berat, hasil dari skenario tajam dan padat yang masih ditulis oleh Gina.
Dalam sebuah film roman remaja seperti ini pasti akan didapati banyak dialog klise seperti “Aku serius saat aku bilang aku nggak akan ninggalin kamu” atau “Aku sayang Bima”. Namun, alih-alih dibuat geli, dalam momen yang tepat dan pembawaan optimal, dialog-dialog tersebut pada akhirnya mengalir sewajarnya.
Apa yang dilakukan Gina pada film ini adalah pencapaian menakjubkan yang seringkali gagal disuguhkan oleh sineas lain. Di samping sukses meleburkan kadar ‘cringe’, Gina berhasil mengkreasikan apa yang seharusnya prediktabel menjadi pilihan poin-poin cerita yang berani, menampik keras semua ekspektasi dan praduga penonton yang semula mengira ini hanya sekadar kisah cinta ataupun drama ‘mewek’ biasa. “Dua Garis Biru” adalah bukti mumpuni bagaimana cerita yang formulaik mampu distir ulang menjadi hasil akhir yang menggugah.
Manis dan getir, bahagia dan miris, adalah hal-hal yang akan menemani penonton sepanjang film. Gina lagi-lagi berhasil menyajikan konflik yang sangat berkaitan dengan dunia nyata alih-alih didramatisasi tanpa guna. Gina memberikan pesan bahwasanya seks sebelum menikah, terlebih di usia yang belum matang, bukanlah hal yang menyenangkan. Segala isu dan polemik yang berkaitan dengan keluarga, rumah tangga, dan orang tua ia jejalkan dan kupas satu per satu, namun tidak rancu. Menyadarkan para penonton mudanya jika kisah fiksi tidak selalu seindah angan-angan dan impi.
Bagaimana film ini bisa sangat ‘relatable’ kepada para penontonnya juga berkat tim di bagian desain produksi dan latar. Mereka sangat menaruh atensi pada tiap detail kecil seperti suasana lingkungan permukiman Bima, dekorasi kamar Dara, hingga gestur-gestur menggemaskan Bima terhadap Dara. Bahkan Gina menyajikan ironi dan metafora seperti bagaimana ia menggambarkan relasi aborsi dengan jus stroberi!
Dan ini Starvision, teman-teman! Menjadi rumah produksi Indonesia favoritku jelas bukan tanpa alasan. Aku sangat mengapresiasi bagaimana mereka dalam tiap film-filmnya memperlalukan adil setiap karakternya yang bisa terbilang cukup banyak. Aku selalu kagum bagaimana para karakter di setiap film Starvision, termasuk “Dua Garis Biru” ini mendapatkan jatah dan fungsi di cerita yang adil tanpa sekadar menjadikan mereka tempelan semata. Bahkan kehadiran cameo yang hanya sekali di satu adegan pun disuguhkan memorabel.
Dan Lulu Tobing pantas untuk diberi apresiasi lebih!
Keunggulan Starvision lain yang tidak dimiliki para studio sebelah adalah kelakar-kelakar jenius yang selalu menggemparkan film-filmnya. Meski porsi humor dalam “Dua Gursi Biru” tidak sebanyak dalam film Starvision lainnya — baguslah untuk tidak mengurangi esensi dramanya — , Gina dan tim konsultan komedinya berhasil membuat setiap kali guyonan ‘slapstick’ khas Starvision tersebut muncul untuk memecahkan gelak tawa satu studio.
Di samping beberapa titik komedi yang berkerja, “Dua Garis Biru” mempunyai banyak adegan dengan poin emosional yang sangat kuat. Salah satu adegan tersebut, dan juga menurutku bagian paling baik dalam film ini adalah rangkaian sekuen panjang di UKS sekolah yang melibatkan keluarga Bima dan Dara serta pihak sekolah yang disyut ‘one take’ tanpa putus!
Dialog yang mengena, perawakan karakter maksimal yang ditunjang oleh permainan mimik baik, hingga sentuhan ‘penyedap’ seperti saat ibu Bima menampar putranya sendiri sukses mengguncang jiwa siapapun yang menonton adegan tersebut. Akan sangat lama lagi sampai bisa menemui kesempatan satu studio terdiam dalam senyap menahan nafas kala emosi mereka berkalut ketika turut menyusuri gerak kamera di sebuah sekuen seperti ini.
Dan secara mengejutkan, “Dua Garis Biru” berhasil menjadi film yang berat dalam segala lini tersebut menjadi ringan untuk diikuti penonton dalam sajian yang indah dan hangat. Kemanisan film ini semakin ditunjang oleh sederet lagu pengiringnya. Nuansa tegang dan pilu di beberapa titik berhasil diluluhkan oleh ‘soundtrack’ yang halus dan menyentuh.
Film ini jauh dari prasangka buruk mereka yang mengira jika ia akan memberikan dampak negatif. Sebaliknya, film ini sangat mengedukasi penontonnya mengenai bahaya hamil di luar nikah serta isu-isu tabu lain perihal seks yang jarang diperbincangkan masyarakat, namun lumrah terjadi.
Dan ayolah, jangan menjadi orang yang minim literasi! Sudah sejak awal film ini mendapatkan rating usia 13 tahun ke atas. Jadi tidak akan mungkin ada satupun adegan vulgar mengotori film yang sudah cemerlang ini.
Apapun yang kalian pikirkan dan bicarakan mengenai “Dua Garis Biru” pasti akan dipatahkan. Film ini tidak hanya mencapai tujuannya untuk memutarbalikkan perasaan penonton, namun juga menyimpangkan semua sangka yang selama ini bergaung. Berujung pada bagaimana kita merasa ‘dekat’ pada film ini, karakter-karakternya, semua masalahnya.
Memukau dalam segala sisi, “Dua Garis Biru” mungkin juga sedikit keteteran dalam sejumlah aspek, termasuk bagian akhir yang agak mengganjal. Walau bagaimanapun, “Dua Garis Biru” adalah citra baik sekaligus tontonan yang patut dianut milenial masa kini untuk menghadapi masa puber dan memersiapkan masa depan dengan matang tanpa terkesan menggurui, apalagi memaki.
Narasi yang masuk akal, perhatian lebih pada hal-hal yang mungkin bagi banyak orang tidak penting, kemistri dua protagonisnya yang terbentuk amat sangat baik, porsi setiap karakter yang tidak melompong, penggambaran konstruksi sosial yang tercermin baik dari dua sisi keluarga, pengubahan konsep cerita tipikal demi untuk tidak semata memuaskan penonton, kocak tanpa merusak tempo, dan sinematografi yang cantik adalah sederet faktor yang mampu membuatku — dan penonton lain — jatuh hati.
Tidak hanya melegakan, “Dua Garis Biru” ada kalanya menyesakkan dan bisa sangat mengguncang hati. Setelah banyak bagian dalam film yang tidak cukup membuat mata basah, bagian klimaks tiba menampar keras relung hati siapapun dengan ‘twist’ yang sangat menyambar dan pada akhirnya sukses membuat wanita, apalagi pria — yang akan semakin sadar untuk menjunjung tinggi martabat wanita — berlinang air mata.

No comments for "Sinopsis film dua garis biru "

Iklan Atas Artikel